SALE ALERT!
Dark Mode Light Mode

KUNTARI Eksplorasi Musik yang Berbeda di Album “Mutu Beton”

Melalui album “Mutu Beton”, duo KUNTARI menyemburkan komposisi musik yang liar dan eksploratif, dan menciptakan sendiri istilahnya yakni primal-core.
kuntari kuntari
KUNTARI

KUNTARI dalam rilisan terbarunya, “Mutu Beton”, menyajikan peleburan intensitas ritme leluhur Indonesia dengan kekasaran bunyi industrial modern. 

Dua personel KUNTARI—multi-instrumentalis Tesla Manaf dan pemain perkusi Rio Abror—menyuguhkan gamelan yang menghantam bertemu dengan lengkingan cornet.

Lalu dentuman rebana bersaing dengan distorsi grindcore yang beringas. Sehingga yang muncul bukanlah sekadar fusion, melainkan ledakan.

“Mutu Beton” sendiri direkam secara langsung di pegunungan Jawa Barat, menghadirkan gema satwa liar dan lanskap tropis. Gajah, orangutan, dan badak disatukan dalam improvisasi yang bebas dan tak terduga.

Instrumen hulusi dan perkusi yang telah dimodifikasi berpadu dengan kebisingan kasar dan pola repetitif ala Steve Reich, membangkitkan lanskap primal yang kuno sekaligus modern secara brutal. 

Tesla Manaf memulai KUNTARI sebagai proyek solo pada 2020 lalu lewat album “Black Shirt Attracts More Feather”.

Di sini, Tesla memadukan improvisasi instrumental yang lincah dengan proses elektronik dan drum sintetis yang menggelegar.

Pada rilisan selanjutnya, “Last Boy Picked” (2022), pendekatannya berubah signifikan, berfokus pada suara organik dan ritme ritual.

Dalam proses itu, Rio Abror bergabung sebagai kolaborator tetap, memperkuat karakter ritmis KUNTARI di album “LARYNX/STRIDULA” pada 2023—yang kini menjadi fondasi sonik untuk “Mutu Beton”. 

Album ini memuat karya penting seperti “Parai”. Komposisi ini mencerminkan trauma kolonialisme lewat teriakan menyeramkan dan gemuruh gitar kasar yang siap menghantam pendengar.

Karya tersebut menghormati para buruh paksa yang dipaksa mengekstrak karet di Asia Tenggara, dan menjadi kritik tajam terhadap kolonialisme.

KUNTARI merayakan ritme leluhur dengan kekuatan baru—menajamkan tepinya untuk menembus masa depan dengan percaya diri.

Dalam “Kerak Terusi”, mereka membongkar logika repetitif minimalisme Amerika ala Steve Reich. Glockenspiel dan marimba yang mengalun dibenturkan dengan dentuman Rebana sakral, alat perkusi dari kulit sapi yang biasa digunakan dalam ritual keagamaan Islam di Indonesia.

Lebih jauh lagi, “Miamch”—yang merupakan komisi dari Festival Kebudayaan Yogyakarta—menggali lebih dalam suara tradisional lokal.

Gamelan dan saron digunakan bukan untuk nostalgia, melainkan diolah ulang menjadi resonansi spektral yang aneh namun memikat.

Karya seperti “Paniscus” memelintir pola techno menjadi bentuk baru yang abrasif, sementara “Bessing” menyulap suasana ritual trance menjadi ledakan spiritual. Suara roh dan lonceng yang menggema tiba-tiba dihantam oleh riff grindcore yang brutal.

“Mutu Beton” – seperti yang dituturkan lewat info rilis resmi yang diterima PentasPentas – adalah catatan perjalanan KUNTARI yang penuh energi dan kekacauan.

Mereka menyusun ulang sejarah dan geografi menjadi peta budaya baru Indonesia, lepas dari batasan konvensi barat yang sering kali kaku dan elitis.

Melalui interaksi dan pengamatan yang mendalam, mereka membuktikan bahwa kemajuan musik bukan hanya didorong oleh teknologi atau mesin, tetapi juga oleh jiwa dan tubuh manusia yang beresonansi dengan alam dan masa lalu.

Dan mungkin tidak ada yang lebih primal—atau lebih revolusioner—daripada itu.

Tonton video penampilan live KUNTARI di tautan kanal YouTube ini. Album “Mutu Beton” sendiri sudah terhidang di digital streaming platform sejak awal Agustus 2025 lalu. (Idh/PP)

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post
canti

CANTI Gandeng ADIPATI DOLKEN, Utarakan “Tak Sempurna”

Next Post
d'cinnamons

D'CINNAMONS Lantunkan “Cerita Semesta”, di Usia Lebih dari Dua Dekade

You cannot copy content of this page