Santamonica kembali bersuara di skena indie Tanah Air. Duo asal Jakarta ini baru saja merilis single terbarunya, bertajuk “SIN”, yang rupanya merupakan lagu yang sebenarnya telah ditulis sejak 2008 silam. Atau sekitar 17 tahun yang lalu.
Kendati demikian, liriknya masih relevan untuk masa kini.
“SIN” digambarkan oleh Santamonica sebagai sebuah karya yang mengangkat kemarahan dan kegelisahan perempuan karena dianggap sebagai penyebab dosa. Sebuah hal yang menyasar kaum tertentu, hal yang menjadi warisan dari sistem yang patriarkal.
Ditulis oleh Sistine (Anindita Saryuf) dan diproduseri bersama Joseph Saryuf, “SIN” merupakan karya mandiri yang juga akan menjadi bagian dari album penuh Santamonica berikutnya, “Wunderkammer”.
Mereka menyebutnya, merupakan kelanjutan dari album debut Santamonica, “Curiouser and Curiouser” yang dirilis pada 2007 silam.
Lagu ini ditulis saat Sistine sedang bergulat dengan pertanyaan tentang ketidakadilan yang kerap dibebankan kepada perempuan.
“Lagu ini berangkat dari pemikiran tentang bagaimana perempuan sering dilihat sebagai sumber dosa,” serunya, dalam naskah rilis resmi yang diterima PentasPentas.
“Sejak kisah Adam dan Hawa, narasi itu terus diwariskan,” imbuhnya.
Membawa nuansa musik yang gelap dan atmosferik, lirik “SIN” terasa seperti fragmen yang puitis namun tidak menggurui, menyampaikan keresahan tanpa perlu berteriak.
Bagi Santamonica, lagu ini bukan tentang penebusan, tapi tentang kesadaran, tentang bagaimana perempuan menghadapi sistem yang menghakimi sejak lama.
Tak ada teriakan, hanya suara yang tetap bersenandung tenang di tengah dunia yang perlahan runtuh.
Yang membuatnya menarik, lirik “SIN” justru terasa nyaris profetik. Dibalut dengan emosi akan tuduhan terhadap perempuan yang seolah menjadi warisan pada berbagai masa dan media.
“Bertahun-tahun setelah lagu ini ditulis, saya menonton adegan Daenerys membakar kota dalam ‘Game of Thrones’. Meski konteksnya berbeda, ada sesuatu yang menggetarkan,” ucap Sistine.
“Kemarahan yang terpendam, rasa diremehkan, lalu tiba-tiba dianggap sebagai ancaman—semua itu mencerminkan emosi yang saya tulis di lagu ini.”
Tentang titik balik seorang perempuan yang selama ini disuruh diam, lanjutnya, yang memikul beban yang bukan miliknya, lalu akhirnya memilih untuk tidak lagi patuh.
Visual untuk “SIN” juga menyimpan cerita. Santamonica menjelaskan foto yang menjadi sampul digital lagu ini dibuat pada 2015, saat Santamonica sedang vakum.
Saat itu, Sistine berkolaborasi dengan fotografer Ifan Hartanto dan label Tangan dalam proyek koleksi perdana mereka. Juga melibatkan sejumlah stylist dan fotografer untuk menerjemahkan karya mode ke dalam foto.
Konsep foto ini terinspirasi dari lagu “SIN”, meskipun saat itu Sistine tidak menyangka lagu ini akan pernah dirilis. Pada foto tersebut, tampak seorang perempuan di ruang jagal dengan apel di mulutnya — simbol dari narasi tentang dosa dan perempuan.
Untuk memperkuat penyampaian tema dari lagu ini, band bentukan 2003 silam ini menyajikannya dalam sebuah video musik yang sederhana namun sarat makna.
Berdiri di dalam sebuah kotak kaca seolah-olah sebuah diorama, Sistine dan Joseph memainkan vintage synthesizer di bawah warna-warni cahaya artifisial dan sorotan proyektor.
Sebagai bagian dari rangkaian menuju album “Wunderkammer”, “SIN” menjadi gambaran awal arah musikal Santamonica yang tetap konsisten: atmosferik, sinematik, dan jujur secara emosional. (Indah/PP)